Di balik tragedi anak tenggelam di Pelabuhan Tengkayu II, terselip kisah pilu dari seorang bocah 13 tahun bernama Muhammad Fathir Adhar. Ia bukan sekadar korban musibah laut biasa—ia adalah anak yatim piatu, yang sejak kecil telah mencicip pahitnya kehilangan.
Fatir kehilangan kedua orang tuanya dalam tragedi tsunami Palu tahun 2018. Sejak itu, hidupnya seperti perahu kecil yang terombang-ambing: kadang bersandar di pelukan sang nenek, kadang berpindah ke rumah kerabat yang bersedia menampung. Tapi di mana pun ia tinggal, satu hal tak pernah berubah: sikapnya yang sopan, pendiam, dan ringan tangan. Ia anak yang jarang mengeluh, cukup tahu diri meski dunia tak selalu memberinya cukup.
Beberapa hari sebelum insiden, dua momen penting datang berturut-turut: perpisahan sekolah dasar pada 19 Mei, dan ulang tahunnya yang ke-13 pada 22 Mei 2025. Sebuah masa transisi: dari bocah menjadi remaja, dari anak-anak menuju hidup yang lebih luas. Tapi tak ada pesta, tak ada kue ulang tahun. Hanya senyum kecil dan pelukan nenek yang tak pernah lelah menjaga.
Malam sebelum kejadian, Fatir bersikap tak seperti biasanya. Menurut sang nenek, ia menjadi lebih banyak bertanya, seolah ingin tahu hal-hal yang tak biasa ia pedulikan. Siangnya, ia sempat meminta makan lebih awal dari biasanya.
“Dia tanya, ‘Nenek, ada nasi?’ Padahal belum waktunya makan,” kenang sang nenek.
“Karena dia minta, saya masakkan nasi. Tapi, hanya ada mi, dia bilang, ‘Makan dengan mi coto Makassar saja, Nek.’”
Namun ketika makanan sudah siap, Fatir tak kunjung muncul. Ia diduga bermain dan berenang di sekitar pelabuhan bersama teman-temannya. Dua temannya selamat. Fatir—tak pernah kembali.
“Sampai mi rasa coto Makassar yang ia minta mengembang… Fathir tak juga pulang,” lirih neneknya ketika diwawancarai alerta.co.id. Suaranya tertahan tangis. Matanya basah.
Kabar duka mulai menyebar perlahan, menyelinap dari satu pesan singkat ke panggilan telepon. Salah satu paman Fatir menghubungi sang nenek.
“Padahal biasanya dia nggak pernah menelpon,” ujar sang nenek. “Begitu dengar namanya disebut tetangga… saya sudah gemetar. Firasat saya, benar.”
Nenek Fatir menahan napasnya, mencoba tegar. Tapi tubuhnya yang renta tak bisa menyembunyikan gemuruh hatinya. “Katanya dia tenggelam… Temannya selamat…”
Fatir terakhir terlihat mengenakan kaos hitam dan sandal milik neneknya. “Sudah berapa kali saya belikan sandal, hilang terus,” ujar sang nenek lirih. “Terakhir, dia pakai yang punya saya. Itu pun… belum saya minta kembali.”
Malam kian larut. Hingga pukul 00.00 Wita, Senin 26 Mei 2025, empat speedboat tim SAR telah dikerahkan untuk menyisir lautan sekitar Pelabuhan Tengkayu II. Namun hasilnya masih nihil. Harapan tinggal digantungkan pada langit, pada laut yang semoga segera membuka rahasianya.
Dan seorang nenek, duduk diam di depan rumah, menunggu dengan mata sembab dan tangan yang tak pernah lelah berdoa—agar cucunya pulang, dalam bentuk apa pun. (Anhar Firdaus)
Discussion about this post