TARAKAN — Di saat sebagian orang merayakan Idul Adha dengan daging dalam box plastik dan kiriman cepat, warga RT 01 Kelurahan Karang Harapan, Kota Tarakan justru merayakannya dengan api yang pelan, aroma rempah, dan satu kata yang tak tercatat di aplikasi ojek daring: nasu cemba.
Setiap tahun, warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di lingkungan ini memelihara satu tradisi sederhana namun bermakna, yakni memasak bersama. Tak sekadar memasak, mereka menyulap daging kurban menjadi hidangan khas wilayah masyarakat Duri, Enrekang, Sulawesi Selatan yang langka—nasu cemba—dimasak gotong royong untuk dibagikan kepada siapa pun yang datang.
“Sebanyak dua ekor sapi dimasak untuk dibagikan ke warga RT 01 dan masyarakat umum,” ujar Hj. Ira, ketua tim ibu-ibu yang bertugas di dapur.
Saat para bapak dan pemuda sibuk memotong daging kurban dari delapan ekor sapi dan empat kambing, para ibu menyusun bumbu dan daun cemba—rempah langka khas Sulawesi yang jadi jiwa dalam masakan ini. Daun ini tidak dibeli, melainkan ditanam sendiri, dibawa dari kampung halaman di Sulawesi.
“Daun cemba ini punya rasa asam khas. Itu yang bikin beda. Kami bawa dari Sulawesi dan tanam sendiri di Tarakan,” jelas Hj. Ira sambil menabur irisan daun ke panci besar.
Nasu cemba bukan makanan sehari-hari. Ia tak dijual di warung. Tak muncul di daftar layanan pesan-antar. Ia hanya hadir di perayaan besar seperti pernikahan, akikah, atau seperti hari ini: Idul Adha. Dan ketika ia muncul, bukan hanya aroma yang menyatu, tapi juga warga.
“Ini tentang rasa kebersamaan,” lanjut Hj. Ira, “karena gotong royong itu bukan cuma soal tenaga, tapi juga soal rasa.”
Di sisi lain, H. Aries, pembina PAC LDII Karang Harapan, menyebut kegiatan ini sebagai bentuk keterlibatan aktif masyarakat terutama anak muda dalam menjaga tradisi dan kebersamaan.
“Delapan sapi dan empat kambing kami potong bersama, dikelola bersama, dan dibagikan bersama. Inilah bentuk ibadah sosial yang hidup,” tuturnya.
Di tengah zaman yang cepat dan individualistik, tradisi seperti ini menjadi pengingat: bahwa makanan terbaik bukan yang paling mahal, tapi yang dimasak dan dibagikan bersama. (Anhari Firdaus)
Discussion about this post