KRAYAN— Dayang Bernapas, warga Lembudut di Kecamatan Krayan Barat, Kalimantan Utara, tak pernah menyangka memar kecil di tubuh anaknya berubah menjadi perjalanan panjang lengkap dengan kepanikannya. Selasa pagi pekan lalu, putranya pulang dari sekolah dalam keadaan menangis. “Dia bilang jatuh dari sepeda, kena setang,” kenang Dayang.
Awalnya Dayang menganggap luka itu biasa. Namun, tak lama kemudian sang anak mulai muntah-muntah. Tenaga kesehatan di kampung (Puskesmas,red) sedang tak berada di tempat. “Dokter tidak ada. Perawat juga lagi keluar tugas,” kata Dayang. Ia menghubungi pos tentara, puskesmas, hingga kerabat…,semuanya menemui jalan buntu.
Kondisi sang anak memburuk. Dayang akhirnya meminta bantuan kerabat agar diantar ke rumah sakit rujukan pratama di Krayan. Perjalanan dua puluh menit itu terasa seperti berjam-jam. Jalan berlumpur dan berlubang membuat mobil berguncang hebat. “Setiap kena lubang dia teriak kesakitan,” tuturnya.
Di IGD rumah sakit tersebut, dokter memberikan infus dan meminta observasi empat jam. Namun kondisi tidak membaik. “Malam itu dia muntah terus, panas, tidak bisa tidur,” ujarnya. Keesokan harinya dokter memutuskan merujuk sang anak ke Kota Tarakan. Namun, hujan dan keterbatasan transportasi membuat rujukan tertunda.
Pesawat perintis (satu-satunya sarana keluar dari Krayan) baru tiba sore hari. Dayang dan suaminya menunggu lebih dari empat jam di bandara, sambil memegangi kursi roda tempat anak mereka duduk lemah. “Kami dongkol. Kesal sekali soal pesawat lambat,” ketusnya.
Slot penerbangan yang semula hanya tersisa untuk dua orang membuat Dayang hampir gagal membawa perawat pendamping. Sampai akhirnya seorang penumpang bernama Yusuf Sawa mengalah dan menyerahkan dua tiketnya. “Dia bilang kasihan lihat kondisi anak,” ujar Dayang. “Kami sangat bersyukur.”
Setibanya di Tarakan, dokter langsung melakukan pemeriksaan lanjutan dan memutuskan operasi. Dayang menangis mendengar penjelasan dokter. “Kami kira dia baik-baik saja karena tidak ada luka di luar. Ternyata luka dalamnya parah sekali,” katanya.
Menurut Dayang, apa yang ia alami bukan kasus tunggal. Warga Krayan sejak lama menghadapi persoalan minimnya fasilitas medis, terbatasnya tenaga kesehatan, hingga ketergantungan pada pesawat perintis yang jadwalnya tidak pasti. “Banyak orang di Krayan tidak tertolong karena masalah pesawat dan alat medis tidak lengkap,” ujarnya.
Ia juga menyebut beberapa perawat harus menggunakan biaya pribadi ketika mengantar pasien rujukan. “Kalau uangnya tidak diganti, bagaimana mereka mau berangkat?” katanya.
Sebagai orang tua, Dayang berharap pemerintah daerah dan pusat memberi perhatian serius pada wilayah perbatasan. “Kami butuh rumah sakit yang lengkap, tenaga medis cukup, dan penerbangan yang pasti. Jangan sampai ada lagi anak yang terlambat ditolong.”
Sampai hari keenam perawatan di Tarakan, kondisi putranya berangsur membaik. Dayang masih terus mendampingi, dengan satu harapan: tidak ada lagi warga Krayan yang harus melalui perjalanan genting seperti mereka. (alerta)


Discussion about this post