TARAKAN — Tangis pelan di ruang rapat DPRD Kota Tarakan, Kamis 17 April 2025, bukan sekadar luapan emosi. Itu adalah suara yang selama ini tak terdengar—suara dari garis terluar pendidikan anak usia dini. Muntia, seorang guru Taman Kanak-Kanak dari pesisir Bengawan, bicara bukan hanya sebagai pendidik, tapi sebagai saksi tentang bagaimana harapan bisa hilang perlahan.
“Idulfitri kemarin kami tidak punya apa-apa,” ucapnya lirih. Kalimat sederhana itu membungkus banyak hal—tentang insentif yang dihentikan tiba-tiba di awal 2025, tanpa penjelasan. Tentang perjuangan membangun sekolah dari tanah kosong bersama mendiang ayahnya, Muhammad Syafi’i. Tentang ruang kelas yang berdiri bukan karena anggaran, tapi karena keyakinan. Muntia bukan siapa-siapa di mata statistik, hanya satu dari ribuan guru TK yang selama ini melakoni peran sebagai penumbuh awal cakrawala ilmu di tempat ia mengajar.
Selama bertahun-tahun, insentif yang awalnya Rp125 ribu lalu naik menjadi Rp650 ribu, bukan sekadar angka. Bagi guru-guru seperti Muntia, itu penanda bahwa negara masih peduli. Ketika dana itu dicabut tanpa dialog, yang hilang bukan sekadar pemasukan, tapi juga rasa dihargai.
“Kami mengajar karena ini pengabdian. Tapi tanpa dukungan, sampai kapan kami bisa bertahan?” tanyanya.
Muntia bukan satu-satunya. Ada ratusan guru TK lainnya di Kalimantan Utara yang mengalami hal serupa—mengajar di tempat yang jauh dari sorotan, kadang tanpa listrik, sering tanpa upah, tapi tetap berdiri karena percaya pendidikan adalah pondasi negeri.
Di ruang yang sama, Wakil Ketua I DPRD Kota Tarakan, Herman Hamid, menyatakan keprihatinannya. Ia menyayangkan keputusan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara yang menghentikan insentif tanpa transisi. Baginya, kebijakan ini layak dievaluasi.
“Jika efisiensi dilakukan demi memperkuat sektor pendidikan, maka insentif guru seharusnya ditambah, bukan dihapus,” ujarnya.
Herman mendukung upaya PGRI dan para guru menyampaikan aspirasi langsung kepada Gubernur Kalimantan Utara, Zainal Paliwang dan berharap kebijakan ini bisa dikoreksi melalui anggaran perubahan.
Karena di balik setiap papan tulis yang usang dan aneka pekerjaan informal lain yang dilakukan oleh guru demi bertahan hidup, ada satu harapan sederhana yang terus menyala di dada: bahwa negara tak akan membiarkan pendidikan dini berjalan sendiri. (af)
Discussion about this post